Oleh
Fery Rachmawati
(Anggota Pramuka 414, Unesa)
“Sepertinya akan turun hujan!” kataku, sembari memandang jauh di tanah lapang. Sekelompok anak berseragam coklat rapi tampak melangkahkan kakinya seiring dan seirama. Setangan leher merah putih yang terbalut di leher mereka melambai-lambai tersapu sang bayu. Harus ku akui, mereka memang terlihat lebih gagah. “berhenti, gerak!” perintah senior mereka. Tak lama kemudian terdengar jelas suara peluit menusuk-nusuk telingaku “Priiiiiit...priiit, segera membentuk barisan dua banjar!” teriak salah satu senior dengan membawa patahan ranting kecil. berlarilah sekelompok anak dengan kabaret bertatop kuning tersebut dengan sigap.
Melihat
kegiatan tersebut pikiranku melayang pada suatu waktu ketika aku masih duduk di
sekolah dasar. Kali pertama aku mengikuti kegiatan pramuka, aku begitu malu
memakai atribut yang ku rasa sangat aneh itu, namun sekarang aku sangat bangga
jika harus memakai seragam coklat, baret dengan tatop merah di atasnya. Pasalnya
semua itu membuatku tampak lebih keren. Bahkan lebih keren dibandingkan dengan
para Polisi yang bertugas di dekat sekolahku. Lihat saja pistol yang melekat di
pinggang mereka, topi aneh yang mereka pakai. Semua itu membuat mereka tampak
lebih gagah, berani, dan disegani masyarakat. Bukan hanya dalam penampilan,
dalam pengabdian pun mereka ternyata memiliki tugas yang mulia. Dari situlah
aku membulatkan tekadku untuk bisa menjadi seperti mereka. Dan di pramukalah,
aku dilahirkan.
Ketika
itu aku mengikuti kegiatan jambore yang diadakan oleh Kwartir Ranting di
kecamatanku. Ini bukan kali pertama aku mengikuti kegiatan kepramukaan. aku
menyadari bahwa di sinilah wadahku mencari pengalaman yang sangat berharga,
mengasah keberanian, mental, dan pembentukan karakter. Sudah bisa ditebak, dari
dua puluh siswa yang didelegasikan oleh kepala sekolah, akulah anak yang paling
bersemangat. Tak heran jika pembina gugus depanku menunjuk aku sebagai pemimpin
regu. Rizal, begitulah orang-orang memanggilku.
Esok
pun tiba. Aku dan teman-teman bermain petak umpet sembari menunggu kamar mandi
yang masih antri. Jajaran tenda prisma yang terpancang di tanah lapang
memudahkanku untuk bersembunyi. Ketika hendak mencari tempat persembunyian,
kakiku tersandung tali lawe yang
terikat pada pasak. aku terjatuh dengan posisi tangan kanan menyanga tubuhku. Teman-teman
pun menertawakanu, pasalnya aku terkenal sebagai anak yang paling nakal, suka iseng dan keras kepala. Mungkin mereka
mengira aku sedang mengelabuhi mereka sehingga mereka lebih memilih untuk
meninggalkanku begitu saja. Tak kusangka aku merasakan sakit yang teramat
sangat. “Oh Tuhan, ada apa ini? tangan kananku tak dapat kugerakkan!” rintihku
dalam hati. Tak lama kemudian panitia peyelenggara datang dan membawaku ke
ruang kesehatan. Aku terus merintih kesakitan dan sempat berkali-kali
meneteskan air mata, karena tak ada pilihan lain, kepala sekolahku mengantarku
pulang. Alangkah terkejutnya keluargaku ketika mereka tahu bahwa tangan kananku
patah akibat kejadian itu.
Segala upaya
dilakukan oleh keluargaku demi membuat tanganku normal kembali. Keadaan ekonomi
yang terbatas tak membuat orang tuaku menyerah. Sawah dua kedok yang menjadi senjata utama mengaih rezeki keluagaku telah habis
terjual untuk pengobatanku. Namun semua itu nihil, mau tak mau aku harus bisa
menerima bahwa kelak aku akan tumbuh menjadi pemuda cacat. Saraf tanganku
terputus akibat malpraktek yang dilakukan oleh pihak rumah sakit di mana aku
dirawat.
Berawal
dari kecelakaan itu, aku mulai benci dengan kepramukaan. semua hal yang
berkaitan dengan kegiatan pramuka sekejap telah hilang dari memoriku. “Aku
bukan anak pandu!” begitulah kata-kata yang sering muncul dari bibirku ketika
Kedua sahabatku, Dani dan Risa bermain ke rumahku dan mengajakku untuk kembali
aktif dalam pramuka. Aku mulai suka mengurung diri di rumah, jika tidak begitu
aku akan sakit hati bila melihat dunia luar. Melihat teman-temanku yang suka
berpetualang,melihat anak-anak seusiaku yang sudah bisa menaiki sepeda motor,
semua itu hanya dapat membuatku iri dan sakit hati. “seharusnya aku juga bisa
seperti mereka, tapi karena pramuka....!” penyesesalanku semakin tak
terbendungkan. Dulu aku dan kedua sahabatku sering berkelana menjelajahi hutan
yang tak jauh dari kampungku. “Aku terlahir sebagai anak alam” jeritku ketika
berada di atas bukit dengan membawa tongkat dan bendera merah putih di atasnya.
Suatu
hari Risa datang ke rumahku menanyakan keadaanku. Di sekolah menengah atas ini,
ia memang sudah tidak satu sekolah lagi denganku. Ia menimba ilmu di luar kota,
jauh dari kampung halaman dengan beasiswa dari pemerintah kabupatenku. Tak
henti-hentinya ia memberikan moivasi kepadaku. Satu hal darinya yang tak kan
pernah kulupakan adalah ketika ia berkata bahwa “orang yang tak pernah memiliki
masalah maka tak akan bisa memecahkan masalah, dan orang yang tak pernah
memiliki masalah besar maka ia tidak
akan pernah bisa menjadi orang besar”. Hatiku meulai luluh ketika hampir satu
jam bercakap-cakap dengannya di teras rumahku.
“aku sudah gagal sedari dulu, dengan
keadaanku seperti ini, mana mungkin aku bisa meraih impianku?”. Ungkapku dengan
penyesalan.
“segampang itukah kau menyerah?” katanya
dengan senyuman ketidakpercayaan.
“apa yang bisa ku lakukan dengan tubuh yang
cacat ini? Tetap masuk ke akademi kepolisian? menjadi anggota militer? Itu
mustahil, Ris!” kataku dengan nada tinggi
“apakah hanya itu yang bisa kau lakukan?”
tanya Risa
“apa maksudmu?” tanyaku bingung
“kau
sudah dewasa” katanya sambil menepuk pundakku
“aku tahu itu” jawabku singkat
“masa depan masih panjang, Zal, dan kau
seorang laki-laki, apakah hanya sebatas ini kemampuanmu? Jika tanganmu ini
merupakan kelemahan bagimu, maka buatlah ia menjadi suatu kelebihan bagi orang
lain. Kau ingin selamanya mengurung diri? Kau tak ingin melihat kedua orang
tuamu tersenyum bangga melihat anak semata wayangnya menjadi orang yang
berhasil? Aku yakin Rizal yang ku kenal bukan tipe orang seperti itu, aku yakin
kau bisa melakukannya”
“mengapa kau begitu yakin?” tanyaku
“karena aku tahu dirimu!” jawabnya
“sebenarnya aku ingin, tapi...”
“buktikan!”
katanya dengan memutus pembicaraanku.
“jika memang kau laki-laki sejati, ya sudah
buktikan saja”
Tampaknya Risa
sekarang sudah menjadi siswi yang mahir lagi organisatoris. Hampir semua
kata-kata yang terucap dari bibirnya membuat gairahku untuk bangkit semakin menjadi-jadi.
Sejak saat itu aku mulai giat belajar, membaca artikel-artikel tentang dunia
luar. Meskipun aku tak bisa sepenuhnya melakukan aktivitas seperti
teman-temanku di luar sana, setidaknya pengetahuanku tidak tertinggal jauh
dengan mereka.
Kesadaranku
benar-benar mucul ketika aku sedang berkelana mencari ilmu di negeri orang.
Tiada yang tak mungkin di dunia ini. Aku bisa membuktikan bahwa anak cacat
sepertiku juga bisa bersaing dengan anak-anak lain yang memiliki nasib yang
lebih beruntung daripada aku. Hal itu terbukti ketika aku mendapatkan beasiswa
S1 di Universitas Indonesia dan S2 di university
of Queensland, Australia. Dari sanalah aku menjadi aktivis pramuka dan aku
mulai yakin bahwa aku bisa menggapai mimpiku.
Seketika lamunan
tentang masa kecilku lenyap. Dan kini yang ada hanya sosok lelaki dewasa berseragam
Pramuka dengan tubuh kekar sedang berdiri seorang diri menatap jauh di ujung
sana.
“Kak
Rizal” sapa seorang wanita berjilbab coklat dengan lesung pipi yang manis.
“Terima
kasih banyak, Kak, materi dan motivasi dari Kakak sudah membuat peserta KML
(Kursus Mahir Lanjutan) kali ini menjadi antusias terhadap gerakan pramuka”
kata wanita itu.
“Itu bukan karena saya, tapi karena niat
mereka yang memang benar-benar besar terhadap bangsa ini” kataku sembari
berjabat tangan dengan wanita tersebut.
Ini adalah kesekian
kalinya aku mengisi materi pelatihan kepramukaan yang diadakan oleh Dewan Kerja
Daerah. Impianku menjadi anggota polisi memang tidak tersampaikan, namun aku
tidak menyesal, karena aku sudah bisa membuktikan pada diriku sendiri dan orang
lain bahwa cacat bukan merupakan suatu penghambat untuk tetap berkarya dan mengabdikan
diri terhadap bangsa Indonesia.
Aku
seperti kembali pada masa-masa silam lagi. Masa kecilku yang begitu gemar
pramuka, masa remajaku yang geram pramuka, dan masa dewasaku yang kembali
muncul benih-benih kasih akan gerakan pramuka. Aku memang ditakdirkan sebagai
anak alam. Aku pun berjalan melanjutkan langkahku.
“Hei, bukan seperti itu caranya” kata
seorang Siaga membenarkan baret temannya
“Aku tak mau memakai ini” kata temannya dengan
ketus.
Aku
pun tersenyum melihat dua anak laki-laki tersebut. Lagi-lagi aku teringat
dengan masa kecilku dulu.
“Zal,
bukan begitu caranya” kata Dani hendak membenarkan baretku
“Aku tak mau seperti itu” kataku
memberontak.
“Kau ini keras kepala” kata Dani mengejek.
“Aku
tak ingin memakainya, ini membuatku terlihat aneh” dengan wajah tak bersalah ku
lempar kabaret itu ke bawah
“Hei,Pramuka mana boleh seperti itu?”
tegasnya.
“Itu kan pramukamu, bukan pramukaku”
“ada apa ini?” tanya Risa kebingungan.
“Tuh, Rizal membuang kabaretnya”
“Kalau aku tak suka ya sudah, jangan
dipaksa, ini kan pramukaku” kataku kesal
“Sudah..sudah, dasar ya kalian ini,
Pramukamu, Pramukaku, Pramuka kita bersama, kita ini satu pramuka, satu
Indonesia, bukankah begitu? Sini aku benarkan!” kata Risa mengambil kabaretku.
“Selesai,
nah, kalau begini kan terlihat gagah” kata Risa sambil menekuk kedua tangannya
ke pinggang sesekali merapikan seragam dan kabaretku.
Dani
mengedipkan matanya dan mengacungkan jempolnya padaku. Seketika Lamunanku
menghilang. Sedangkan di depanku dua anak Siaga itu masih saling mengeyel.Tiba-tiba
datang wanita cantik berseragam putih mendekati mereka. Lebih tepat bila
dipanggil dokter.
“Ada apa ini?” tanya si wanita
“Mama, kakak memaksaku harus memakai topi
ini, aku tidak suka, ini kan pramukaku, bukan pramuka Kakak”
“Adi, Toni, jangan berantem, Pramuka Adi,
Pramuka Kak Toni, Pramuka kita semua, tahu kenapa?”. Kedua anak itu
menggelengkan kepala.
“Satu pramuka itu...”
“Untuk satu Indonesia” Jawabku dari
kejauhan.
Kedua
anak dan Ibu itu melihat ke arahku. “Ayaaah” kedua anak itu berlari mendekapku.
Risa, Istriku memang tiada duanya. Ia sangat pandai mendidik dan memikat hati
anak-anakku. Aku dan Istriku bertekad mendidik anak-anakku seperti yang
diterapkan dalam Gerakan Pramuka. Karena dengan metode tersebut kita benar-benar
menjadi manusia yang berjiwa pancasila dengan satya dan darma yang mengalir
berirama di dalam tubuh ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar