Selasa, 04 September 2012

ITU PRAMUKAMU, BUKAN PRAMUKAKU


Oleh
Fery Rachmawati
(Anggota Pramuka 414, Unesa)



“Sepertinya akan turun hujan!” kataku, sembari memandang jauh di tanah lapang. Sekelompok anak berseragam coklat  rapi tampak melangkahkan kakinya seiring dan seirama. Setangan leher merah putih yang terbalut di leher mereka melambai-lambai tersapu sang bayu. Harus ku akui, mereka memang  terlihat lebih gagah. “berhenti, gerak!” perintah senior mereka. Tak lama kemudian terdengar jelas suara peluit menusuk-nusuk telingaku “Priiiiiit...priiit, segera membentuk barisan dua banjar!” teriak salah satu senior dengan membawa patahan ranting kecil. berlarilah sekelompok anak dengan kabaret bertatop kuning tersebut dengan sigap.

          Melihat kegiatan tersebut pikiranku melayang pada suatu waktu ketika aku masih duduk di sekolah dasar. Kali pertama aku mengikuti kegiatan pramuka, aku begitu malu memakai atribut yang ku rasa sangat aneh itu, namun sekarang aku sangat bangga jika harus memakai seragam coklat, baret dengan tatop merah di atasnya. Pasalnya semua itu membuatku tampak lebih keren. Bahkan lebih keren dibandingkan dengan para Polisi yang bertugas di dekat sekolahku. Lihat saja pistol yang melekat di pinggang mereka, topi aneh yang mereka pakai. Semua itu membuat mereka tampak lebih gagah, berani, dan disegani masyarakat. Bukan hanya dalam penampilan, dalam pengabdian pun mereka ternyata memiliki tugas yang mulia. Dari situlah aku membulatkan tekadku untuk bisa menjadi seperti mereka. Dan di pramukalah, aku dilahirkan.

          Ketika itu aku mengikuti kegiatan jambore yang diadakan oleh Kwartir Ranting di kecamatanku. Ini bukan kali pertama aku mengikuti kegiatan kepramukaan. aku menyadari bahwa di sinilah wadahku mencari pengalaman yang sangat berharga, mengasah keberanian, mental, dan pembentukan karakter. Sudah bisa ditebak, dari dua puluh siswa yang didelegasikan oleh kepala sekolah, akulah anak yang paling bersemangat. Tak heran jika pembina gugus depanku menunjuk aku sebagai pemimpin regu. Rizal, begitulah orang-orang memanggilku.

          Esok pun tiba. Aku dan teman-teman bermain petak umpet sembari menunggu kamar mandi yang masih antri. Jajaran tenda prisma yang terpancang di tanah lapang memudahkanku untuk bersembunyi. Ketika hendak mencari tempat persembunyian, kakiku tersandung tali lawe yang terikat pada pasak. aku terjatuh dengan posisi tangan kanan menyanga tubuhku. Teman-teman pun menertawakanu, pasalnya aku terkenal sebagai anak yang paling nakal, suka iseng dan keras kepala. Mungkin mereka mengira aku sedang mengelabuhi mereka sehingga mereka lebih memilih untuk meninggalkanku begitu saja. Tak kusangka aku merasakan sakit yang teramat sangat. “Oh Tuhan, ada apa ini? tangan kananku tak dapat kugerakkan!” rintihku dalam hati. Tak lama kemudian panitia peyelenggara datang dan membawaku ke ruang kesehatan. Aku terus merintih kesakitan dan sempat berkali-kali meneteskan air mata, karena tak ada pilihan lain, kepala sekolahku mengantarku pulang. Alangkah terkejutnya keluargaku ketika mereka tahu bahwa tangan kananku patah akibat kejadian itu. 

Segala upaya dilakukan oleh keluargaku demi membuat tanganku normal kembali. Keadaan ekonomi yang terbatas tak membuat orang tuaku menyerah. Sawah dua kedok yang menjadi senjata utama mengaih rezeki keluagaku telah habis terjual untuk pengobatanku. Namun semua itu nihil, mau tak mau aku harus bisa menerima bahwa kelak aku akan tumbuh menjadi pemuda cacat. Saraf tanganku terputus akibat malpraktek yang dilakukan oleh pihak rumah sakit di mana aku dirawat.

          Berawal dari kecelakaan itu, aku mulai benci dengan kepramukaan. semua hal yang berkaitan dengan kegiatan pramuka sekejap telah hilang dari memoriku. “Aku bukan anak pandu!” begitulah kata-kata yang sering muncul dari bibirku ketika Kedua sahabatku, Dani dan Risa bermain ke rumahku dan mengajakku untuk kembali aktif dalam pramuka. Aku mulai suka mengurung diri di rumah, jika tidak begitu aku akan sakit hati bila melihat dunia luar. Melihat teman-temanku yang suka berpetualang,melihat anak-anak seusiaku yang sudah bisa menaiki sepeda motor, semua itu hanya dapat membuatku iri dan sakit hati. “seharusnya aku juga bisa seperti mereka, tapi karena pramuka....!” penyesesalanku semakin tak terbendungkan. Dulu aku dan kedua sahabatku sering berkelana menjelajahi hutan yang tak jauh dari kampungku. “Aku terlahir sebagai anak alam” jeritku ketika berada di atas bukit dengan membawa tongkat dan bendera merah putih di atasnya.

          Suatu hari Risa datang ke rumahku menanyakan keadaanku. Di sekolah menengah atas ini, ia memang sudah tidak satu sekolah lagi denganku. Ia menimba ilmu di luar kota, jauh dari kampung halaman dengan beasiswa dari pemerintah kabupatenku. Tak henti-hentinya ia memberikan moivasi kepadaku. Satu hal darinya yang tak kan pernah kulupakan adalah ketika ia berkata bahwa “orang yang tak pernah memiliki masalah maka tak akan bisa memecahkan masalah, dan orang yang tak pernah memiliki masalah besar maka ia  tidak akan pernah bisa menjadi orang besar”. Hatiku meulai luluh ketika hampir satu jam bercakap-cakap dengannya di teras rumahku.

“aku sudah gagal sedari dulu, dengan keadaanku seperti ini, mana mungkin aku bisa meraih impianku?”. Ungkapku dengan penyesalan.

“segampang itukah kau menyerah?” katanya dengan senyuman ketidakpercayaan.

“apa yang bisa ku lakukan dengan tubuh yang cacat ini? Tetap masuk ke akademi kepolisian? menjadi anggota militer? Itu mustahil, Ris!” kataku dengan nada tinggi

“apakah hanya itu yang bisa kau lakukan?” tanya Risa

“apa maksudmu?” tanyaku bingung

 “kau sudah dewasa” katanya sambil menepuk pundakku

“aku tahu itu” jawabku singkat

“masa depan masih panjang, Zal, dan kau seorang laki-laki, apakah hanya sebatas ini kemampuanmu? Jika tanganmu ini merupakan kelemahan bagimu, maka buatlah ia menjadi suatu kelebihan bagi orang lain. Kau ingin selamanya mengurung diri? Kau tak ingin melihat kedua orang tuamu tersenyum bangga melihat anak semata wayangnya menjadi orang yang berhasil? Aku yakin Rizal yang ku kenal bukan tipe orang seperti itu, aku yakin kau bisa melakukannya”

“mengapa kau begitu yakin?” tanyaku

“karena aku tahu dirimu!” jawabnya

“sebenarnya aku ingin, tapi...”

“buktikan!”  katanya dengan memutus pembicaraanku.

“jika memang kau laki-laki sejati, ya sudah buktikan saja”

Tampaknya Risa sekarang sudah menjadi siswi yang mahir lagi organisatoris. Hampir semua kata-kata yang terucap dari bibirnya membuat gairahku untuk bangkit semakin menjadi-jadi. Sejak saat itu aku mulai giat belajar, membaca artikel-artikel tentang dunia luar. Meskipun aku tak bisa sepenuhnya melakukan aktivitas seperti teman-temanku di luar sana, setidaknya pengetahuanku tidak tertinggal jauh dengan mereka.

          Kesadaranku benar-benar mucul ketika aku sedang berkelana mencari ilmu di negeri orang. Tiada yang tak mungkin di dunia ini. Aku bisa membuktikan bahwa anak cacat sepertiku juga bisa bersaing dengan anak-anak lain yang memiliki nasib yang lebih beruntung daripada aku. Hal itu terbukti ketika aku mendapatkan beasiswa S1 di Universitas Indonesia dan S2 di university of Queensland, Australia. Dari sanalah aku menjadi aktivis pramuka dan aku mulai yakin bahwa aku bisa menggapai mimpiku.

Seketika lamunan tentang masa kecilku lenyap. Dan kini yang ada hanya sosok lelaki dewasa berseragam Pramuka dengan tubuh kekar sedang berdiri seorang diri menatap jauh di ujung sana.

 “Kak Rizal” sapa seorang wanita berjilbab coklat dengan lesung pipi yang manis.

 “Terima kasih banyak, Kak, materi dan motivasi dari Kakak sudah membuat peserta KML (Kursus Mahir Lanjutan) kali ini menjadi antusias terhadap gerakan pramuka” kata wanita itu.

“Itu bukan karena saya, tapi karena niat mereka yang memang benar-benar besar terhadap bangsa ini” kataku sembari berjabat tangan dengan wanita tersebut.

Ini adalah kesekian kalinya aku mengisi materi pelatihan kepramukaan yang diadakan oleh Dewan Kerja Daerah. Impianku menjadi anggota polisi memang tidak tersampaikan, namun aku tidak menyesal, karena aku sudah bisa membuktikan pada diriku sendiri dan orang lain bahwa cacat bukan merupakan suatu penghambat untuk tetap berkarya dan mengabdikan diri terhadap bangsa Indonesia.

          Aku seperti kembali pada masa-masa silam lagi. Masa kecilku yang begitu gemar pramuka, masa remajaku yang geram pramuka, dan masa dewasaku yang kembali muncul benih-benih kasih akan gerakan pramuka. Aku memang ditakdirkan sebagai anak alam. Aku pun berjalan melanjutkan langkahku.

“Hei, bukan seperti itu caranya” kata seorang Siaga membenarkan baret temannya

“Aku tak mau memakai ini” kata temannya dengan ketus.

          Aku pun tersenyum melihat dua anak laki-laki tersebut. Lagi-lagi aku teringat dengan masa kecilku dulu.

 “Zal, bukan begitu caranya” kata Dani hendak membenarkan baretku

“Aku tak mau seperti itu” kataku memberontak.

“Kau ini keras kepala” kata Dani mengejek.

 “Aku tak ingin memakainya, ini membuatku terlihat aneh” dengan wajah tak bersalah ku lempar kabaret itu ke bawah

“Hei,Pramuka mana boleh seperti itu?” tegasnya.

“Itu kan pramukamu, bukan pramukaku”

“ada apa ini?” tanya Risa kebingungan.

“Tuh, Rizal membuang kabaretnya” 

“Kalau aku tak suka ya sudah, jangan dipaksa, ini kan pramukaku” kataku kesal

“Sudah..sudah, dasar ya kalian ini, Pramukamu, Pramukaku, Pramuka kita bersama, kita ini satu pramuka, satu Indonesia, bukankah begitu? Sini aku benarkan!” kata Risa mengambil kabaretku.

 “Selesai, nah, kalau begini kan terlihat gagah” kata Risa sambil menekuk kedua tangannya ke pinggang sesekali merapikan seragam dan kabaretku.

          Dani mengedipkan matanya dan mengacungkan jempolnya padaku. Seketika Lamunanku menghilang. Sedangkan di depanku dua anak Siaga itu masih saling mengeyel.Tiba-tiba datang wanita cantik berseragam putih mendekati mereka. Lebih tepat bila dipanggil dokter.

“Ada apa ini?” tanya si wanita

“Mama, kakak memaksaku harus memakai topi ini, aku tidak suka, ini kan pramukaku, bukan pramuka Kakak”

“Adi, Toni, jangan berantem, Pramuka Adi, Pramuka Kak Toni, Pramuka kita semua, tahu kenapa?”. Kedua anak itu menggelengkan kepala.

“Satu pramuka itu...”
“Untuk satu Indonesia” Jawabku dari kejauhan.

          Kedua anak dan Ibu itu melihat ke arahku. “Ayaaah” kedua anak itu berlari mendekapku. Risa, Istriku memang tiada duanya. Ia sangat pandai mendidik dan memikat hati anak-anakku. Aku dan Istriku bertekad mendidik anak-anakku seperti yang diterapkan dalam Gerakan Pramuka. Karena dengan metode tersebut kita benar-benar menjadi manusia yang berjiwa pancasila dengan satya dan darma yang mengalir berirama di dalam tubuh ini.



Tidak ada komentar: